Sabtu, 22 Juni 2013

Black Butler ~ Fanfic 1

Cerita yang akan kuberitahukan kepada kalian sebenarnya adalah mimpiku yang, sayangnya, tidak selesai. Tapi karena saya sudah terlanjur penasaran, saya jadikan fanfic ‘gaje’ yang mungkin tidak terlalu berkesan dan malah mungkin akan menimbulkan beberapa protes dari sekian banyak orang karena begitu berbeda dengan yang sebenarnya. Setidaknya tolong dibaca dan diberi saran dengan kemampuan menulis saya.

Cast       : Alois Trancy, Claude Faustus, Sebastian Michaelis, dan CielPhantomhive (entah mengapa, Alois menjadi sorotannya! Padahal saya pengennyaCiel -_-)
Genre     : Action, Fiendship
Part        : 1 from 2

“tuan muda” seorang pelayan laki-laki denganjas buntut dan rambutnya yang hitam masuk ke ruang kerja yang luas, “ada surat dari ratu Victoria”

Dia—anak laki-laki dengan penutup mata hitam di mata kanannya—mengalihkan pandangannya dari buku berjudul ‘Count Ganas VIII’, menatap pelayannya, “kemarikan” dan menerima secarik surat dengan cap kerajaan di atasnya. Ia membaca kertas bertuliskan tangan dengan amat teliti.

“begitu rupanya” gumamnya, “Sebastian, siapkan semua yang kita perlukan. Sebentar lagi kita pergi”

*

“CIEL!!!”

Wajahnya yang tadinya serius, berubah menjadi suram. Ia berbalik dan bersiap akan berlari pergi. Sayangnya ia kurang cepat dan anak laki-laki dengan rambut pirangnya itu berhasil menangkapnya, “akhirnya bisa datang kemari! Bagaimana kabarmu belakangan ini?”

“aw..aw…Alois! lepaskan! Kau mencekikku!”

Sementara pelayannya menghampiri lelaki berkacamata yang berdiri tak jauh dari mereka, pelayan anak laki-laki ceria itu, “tuan muda Alois tidak berubah, ya. Sepertinya kau butuh tangan lebih untuk mengurusnya”

Ia tertawa kecil, “memang. Tapi karena sikapnya itulah, seisi rumah tak pernah bosan”

Kedua anak laki-laki yang masih berumur 13 tahun itu adalah anak bangsawan,  Ciel Phantomhive dan Alois Trancy. Mereka sudah berteman lama sejak kecil.

Setelah beberapa saat, Alois melepaskan genggamannya, dan Ciel langsung bernapas lega, “kau mau kemana? Kenapa kau memakai pakaian sekolah?”

Ya. seperti yang dikatakan Alois. Ciel yang berdiri di hadapannya, kini mengenakan baju sekolah rapi—dengan jas, topi dan dasi merah. Lambang sekolah wetson tersemat di saku baju kirinya, “tugas” jawab Ciel, singkat, “sebaiknya kau segera pulang. Rumah ini sebentar lagi kosong. Aku dan Sebastian harus pergi sekarang”

“hah? padahal aku baru saja sampai…” Alois langsung cemberut, “tugas apa sih? Bagaimana kalau aku ikut juga? Berempat jauh lebih baik daripada berdua”

“tidak bisa! aku lebih suka bekerja sendiri”

“ow…ayolah. Aku janji aku pasti akan membantumu!” ujarnya, “lagipula aku kan juga punya iblis, sama sepertimu” sambil menunjuk ke arah pelayan berkacamata.

Seperti yang ia katakan. Mereka berdua sudah kenal lama sejak kecil, apalagi setelah kejadian mengerikan yang menimpa mereka, dimana mereka sampai harus membuat ‘kontrak’ dengan ‘iblis’ dan mengikat jiwa untuk bertahan hidup. Dan iblis itu adalah pelayan mereka sendiri, Sebastian Michaelis dan Claude Faustus.

Ciel diam sebentar,“Sebastian, aku harap kau bisa menyediakan satu seragam lagi” ujarnya dan menatap teman masa kecilnya yang kini wajahnya berbinar cerah, “sebentar lagi,kita akan masuk sekolah”

*

Sekolah Weston, publicschool yang ternama dan terkemuka di Inggris sekolah yang dibangun di samping sungai Thames. Sekolah dengan peraturan yang amat ketat yang menjunjung tinggi tradisi dan dibesarkan untuk menjadi pria sejati Inggris melalui kehidupan di asrama khusus laki-laki dengan pendidikan bertaraf tinggi.

“hee…jadi ini sekolah terkemuka itu…” Alois memandang sekeliling dari balik topinya, “apa yang akan kita lakukan disini, Ciel?”

Kepada bocah yang manis

Bagaimana hari liburmu? Aku membuat kue kering untuk Grey dan Fipps sebagai hadiah di hari “Thanksgiving”, walau hasilnya tak sesuai perkiraanku. Aku bahkan diajarkan oleh Fipps untuk memanggang kue dengan benar.

Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiranku di hari liburku itu. sebuah gedung dibangun di pulau kecil yang seharusnya sama sekali tak berpenghuni. Kudengar kabar, itu merupakan tempat menginap bagi para murid dari sekolah Weston yang mengadakan darmawisata beberapa hari ke depan.  Tapi seminggu berlalu dan tak ada kabar apapun dari sana. Aku jadi khawatir. Apalagi salah satu muridnya merupakan anak dari temanku yang sangat kusayangi.

Aku harap anaknya segera pulang dan orang-orang yang kusayangi kembali bahagia.

Victoria

Ciel—setelah dirinya dan Alois melewati bermacam proses penerimaan murid baru—sedang membalik-balik berkas pekerjaannya yang masih belum selesai. Pelayan mereka, tak diperbolehkan masuk ke dalam lingkungan sekolah. Hanya saja, berhubung mereka adalah iblis,mereka dapat berkeliaran di dalam sekolah tanpa diketahui.

“tuan muda” Sebastian muncul di hadapannya, “aku sudah menyelidiki apa yang anda perintahkan”

“jelaskan!” ucapnya.

“memang benar murid-muridpergi ke gedung itu untuk melakukan darmawisata. Tapi pihak sekolah mengatakan,mereka sudah kembali ke rumah masing-masing” jelasnya setelah mendengar perintah majikannya.

“bahkan pihak sekolahmenutupi kejadian ini, hm?” gumam Ciel sambil berjalan menghampiri jendela.

“BAA!!!”

“Huwaa!!!” dan Ciel jatuh terduduk karena kaget.

Di balik jendela kamar asramanya—yang mengarah ke taman sekolah yang luas—seorang anak laki-laki dengan rambut pirangnya—beberapa daun menempel disana—tertawa-tawa melihat kekagetan temannya itu, “Alois! Kau ini!”

“haha…soalnya aku bosan. Dan tak ada yang kukenal disini” jawabnya, tertawa riang, “ayo, Ciel! Kita  jalan-jalan sebentar!”

“aku sudah bilang kan, aku sibuk? Aku tak punya waktu meladenimu” ia berbalik dan bertanya kembali kepada Sebastian mengenai informasi yang ia dapatkan.

 “kalau begitu ada yang bisa kubantu? Aku tak ingin hanya berdiam diri saja” tanya Alois sekali lagi, mencoba menarik perhatiannya. Tapi Ciel terlalu focus pada perkataan Sebastian sehingga ia tak mendengarnya. Membuat Alois memajukan bibirnya kesal.

“benar juga” akhirnya Ciel sadar, ”maaf Alois, kali ini aku tak bisa menemanimu. Jadi kalau kau ingin…kemana dia?” saat ia menoleh ke arah jendela, sudah tak ada siapa-siapa lagi disana. Yang ia lihat hanyalah rumput hijau yang terhampar luas dan angin sepoi-sepoi yang berhembus masuk.

Alois—berjalan dengan sedikit menghentakkan kakinya, kesal karena tak diacuhkan oleh Ciel tadi—berkata dengan sedikit berseru, “Claude!”

“ya, tuan muda?” entah darimana munculnya, kini pelayan berkacamatanya sudah berada di sampingnya.

“kapan darmawisata selanjutnya diadakan?” tanyanya. Ia tak sengaja mendengar pembicaraan Ciel bersama Sebastian mengenai hal itu barusan. Dan ia yakin hal itu berhubungan dengan tugas Ciel kali ini.

“lusa, jam 10.00 pagi”

“kalau begitu siapkan barang-barangnya” wajah Alois berubah serius, “akan kubuktikan kalau aku bisa melakukannya!”

Lusa, jam 09.30 pagi…

Di pelabuhan, kapal mewah dengan tulisan “Wetson School” di tengahnya masih bersanding di tepi. Kumpulan murid-murid yang tak sabar ingin segera pergi begitu ramai memadati tempat.Ciel—yang tak ingin terjepit di antara kerumunan itu—berdiri jauh dari mereka,sambil berbicara dengan Sebastian, “apakah kau melihat Alois?”

Sejak hari itu, Ciel sama sekali tak bertemu dengan Alois. Bahkan ia tak terlihat di kelas maupun kamarnya. Murid-murid yang ia tanyakan, semuanya menggeleng tidak tahu.

“tidak. Aku sudah mencarinya ke seluruh sekolah, tapi aku sama sekali tak melihatnya” jawabannya membuat Ciel mendesah panjang. Walau Alois terkadang menyebalkan, tapi tetap saja ia cemas. Alois adalah temannya.

TOOOTT…bunyi kapal terdengar begitu keras. Tangga diturunkan dan murid-murid menyerbu masuk ke dalam. Ciel segera berdiri dari posisi santainya dan mengikuti rombongan sambil memberikan perintah pada Sebastian, “selama berada di kapal, kita harus mencari informasi mengenai sekolah ini” tuturnya, “aku yakin Alois tidak apa-apa dan kita tetap harus melanjutkan tugas kita”

yes, my lord

*

Mereka sampai di tempat tujuan. Pulau itu begitu terpencil. Dan satu-satunya jalan untuk mencapai pulau itu hanyalah dengan menggunakan kapal. Karena jembatan kayu yang menjadi penghubung juga sudah reyot sehingga berbahaya untuk dilalui. Di tengah-tengah pulau yang dipenuhi dengan pepohonan-pepohonan yang rindang, berdirilah gedung mewah yang amat tinggi—mungkin sekitar 20 lantai. Tapi tentunya itu adalah hal yang aneh bagi Ciel, “untuk apa mereka membuat gedung di pulau terpencil seperti ini?” pikirnya, “sangat aneh untuk membawa murid-murid bangsawan ketempat seperti ini untuk berdarmawisata. Pasti ada udang di balik batu”

Ciel—bersama rombongan yang lain—memasuki gedung itu. kalau dilihat dari bawah, gedung itu bagaikan menuju langit. Sementara murid-murid berlarian senang karena gedung yang bagian dalamnya itu juga sama mewahnya dengan bagian luarnya, Ciel malah pergi memisahkan diri, berhenti di ujung tangga dan berkata pelan, “Sebastian”

“anda memanggilku?”

Layaknya angin, pelayan yang mengenakan jas buntut hitam itu muncul begitu saja dan berdiri dengan tegapnyadi sebelah Ciel, seakan ia sudah berada di sana sejak tadi. Ia berbicara sambil matanya terus berkeliling ke sekitar, “kau sudah memeriksa apakah anak-anak yang menghilang itu masih ada disini? apakah ada sesuatu yang mencurigakan?”

“tidak ada” ia menggeleng, membuat alis Ciel sedikit terangkat, “sudah kuperiksa ke tiap sudut gedung, bahkan ke seluruh pulau, anak-anak yang menghilang tak ada dimanapun. Bahkan tempat yang dilarang untuk dimasukipun sudah saya periksa”

“hmm…kalau tidak ada di gedung ini…lalu dimana?” gumam Ciel.

Sementara majikannya tenggelam dalam pikirannya sendiri, Sebastian—menyadari seseorang tengah mengawasi mereka—langsung mengeluarkan 4 pisau dapur yang selalu ia bawa dan WHUUSSH, melemparnya tepat ke arah bayangan seseorang itu terlihat.

TAP. Tapi lemparannya yang cepat itu ditangkap dengan mudah olehnya. Ciel—yang akhirnya sadar—cepat menoleh, “siapa disana?”

“tenang saja, Ciel. Ini aku” seorang anak laki-laki yang ia kenal muncul di arah pandangannya. Anak laki-laki dengan rambut pirangnya yang mencolok, membuatnya mudah untuk dikenali.

“Alois! Kemana saja kau dari tadi! Dan mengapa kau bisa ada disini?” Ciel—yang sudah sangat khawatir dengan keadaan temannya itu akhirnya berseru, marah, “kau seharusnya tahu seberapa cemasnya aku saat kau menghilang entah kemana!”

“cemas? Padahal kau tadi terlihat tak peduli padaku” ia memasang muka cemberut dan tatapannya sedikit sinis.

Agak kaget dengan jawaban temannya itu, ia berkata, “Alois…kau marah?”

Dan ia memalingkan mukanyadari hadapan Ciel, memberikan jawaban kepadanya bahwa ia memang marah. Ia jadi sedikit salah tingkah, “tunggu, Alois. Waktu itu aku tak bermaksud mengabaikanmu. Aku hanya…” bingung ingin berkata apa lagi, ia jadi terdiam.

Alois mendengus pelan, “ayo, Claude. Kita pergi!”

Claude—setelah mengembalikan pisau-pisau milik Sebastian yang tadi berhasil ia tangkap—mengikuti kemana majikannya pergi tanpa banyak suara.

Anak laki-laki berpenutup mata yang benar-benar tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menghela napas panjang, “kenapa jadi seperti ini, sih?”

Alois—setelah berjalan jauh dari Ciel—akhirnya berhenti dan menoleh ke belakang. Sebenarnya ia tak marah pada Ciel. Dan sebenarnya ia ingin berbicara dengannya baik-baik tadi. Tapi entah mengapa, sikap yang ia tunjukkan malah seperti itu. ia jadi merasa bersalah.

“tidak! Aku harus membuktikannya terlebih dulu!” tekadnya, dalam hati, “aku harus membuktikan kepada Ciel kalau aku juga bisa membantunya!”

“Claude!” ia berbalik ke arah pelayan berkacamata, “periksa lantai atas! Aku akan memeriksa lantai bawah” perintahnya.

Dengan anggukan sekali, Claude menghilang dari hadapannya. Alois—tak ingin membuang-buang waktu—segera berlari, melewati murid-murid yang kaget melihatnya, berkeliling ke tiap tempat yang terlintas di benaknya. Hingga akhirnya ia sampai di depan ruang guru yang terletak di sudut gedung. Sangat sudut, sehingga terkesan terpencil. Dan tentunya itu membuat Alois curiga.

Apalagi di balik pintu itu terdengar suara. Ia menempelkan telinganya, mencoba mendengar apa yang sedang dibicarakan. Karena pintunya yang tebal, hanya beberapa potong kata saja yang bisa ia dengar.

“…mereka ada disini?”

“…kalau mereka ada, bagaimana dengan rencana kita?”

“…aku tidak tahu!”

Diam sebentar, membuat Alois makin mempertajam pendengarannya karena suara mereka yang mulai mengecil,“…bagaimana kalau…”

Dan ia mendengar seseorang sedang berbisik, “sial. kalau sampai berbisik seperti itu, pasti ada maunya!” gumam Alois.

Terlalu serius untuk mendengar pembicaraan itu, ia tak menyadari seseorang berjalan mengendap-endap di belakangnya. Dan…

GREP. Sesuatu membungkam mulutnya. Ia sangat kaget, dan reaksinya hanya bisa memberontak. Mulutnya tertutup, membuatnya tak bisa memanggil nama pelayannya itu. Pandangannya perlahan mulai mengabur. Dan sebelum akhirnya ia pingsan.

*

“hei, Alois! Bangun!”

Begitu ia tersadar, ia sudah berada di kamarnya. Dan wajah Ciel—yang cemas sekaligus lega—adalah yang pertama ia lihat, “syukurlah kau baik-baik saja”

Ia mencoba bangun, tapi pelayannya melarangnya dan dengan agak sedikit tak sabaran, mendorong kembali tubuh majikannya ke atas tempat tidur, “dimana aku? Apa yang terjadi?” tanya Alois.

“justru itu yang ingin kutanyakan!” Ciel membalas dengan sedikit membentak, membuat Alois meringkuk takut, “Claude khawatir karena kau tak memanggilnya walau 1 jam sudah berlalu. Dan ia menemukanmu pingsan di dekat pintu gudang”

“benar-benar deh! Kau ini ceroboh sekali! Sudah kubilang untuk jangan sembarangan bergerak sendirian! Berbahaya!”

Wajah Alois menunduk,menyesal. Ciel mengendalikan napasnya, “maaf. Aku tak bermaksud memarahimu. Aku hanya khawatir denganmu”

Suasana hening sebentar. Kedua pelayan mereka pergi dari ruangan untuk memberi mereka waktu bicara. Dan beberapa detik setelahnya, Alois mulai membuka mulut, “aku…hanya ingin membantumu, Ciel”

Matanya sedikit membesar mendengar kata-kata itu. ia melanjutkan, “setiap kali aku datang, kau selalu terlihat sibuk. Sedangkan aku tak pernah bisa melakukan apa-apa untuk membantumu” gumamnya, “walau kau punya Sebastian, terkadang kau melakukan penyelidikan sendirian. Dan begitu kau pulang, kau selalu kelelahan”

“aku hanya ingin meringankan bebanmu. Jadi kita bisa bermain bersama saat kau punya waktu kosong nanti”

Hening untuk yang kedua kalinya. Tak ada yang berbicara. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

*

“37, 02 derajat” Claude memeriksa termometer.

Hari sudah malam. Alois demam. Entah apa yang terjadi, suhu tubuhnya tiba-tiba naik. Ia hanya bisa terbaring di atas kasur, dengan kain basah di dahinya.

“kau demam” Ciel menggaruk-garuk kepalanya, “sebaiknya aku menunda penyelidikan dulu dan menemanimu”

Tapi Alois menggeleng pelan. Wajahnya memerah akibat demamnya, “tidak usah, Ciel. Aku tidak apa-apa, kok. Lagipula ada Claude. Sebaiknya kau lanjutkan saja penyelidikanmu”

“suapaya nanti kita bisa pulang ke rumah secepatnya”

Ia memandang temannya yang menggigil kedinginan. Sebenarnya ia tak ingin meninggalkannya begitu saja, tapi apa boleh buat. Sebaiknya ia segera menyelesaikan tugas ini dan segera kembali ke rumah agar Alois bisa beristirahat dengan tenang, “Sebastian, ayo kita pergi”

BLAM. Pintu tertutup rapat,dan kini hanya ada Claude disana. Ia mengganti kain basah di dahi Alois dengan yang baru. Waktu terasa berjalan sangat lambat di dalam ruangan itu. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Hanya detik jam yang terdengar.

“Claude…” dan akhirnya suara lemah Alois memecahkan keheningan, “aku sudah tidak apa-apa sekarang. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu dan beristirahat”

“tapi tuan muda. Anda sedang sakit!” wajahnya begitu cemas. Lebih cemas dibandingkan Ciel tadi, “saya tak mungkin meninggalkan anda begitu saja!”

“aku tidak apa-apa” sergahnya, ”aku tak selemah yang kau pikirkan, kok”

“kembalilah ke kamarmu. Aku tahu iblis tak butuh tidur, tapi setidaknya beristirahatlah” Alois tersenyum, “besok aku pasti sembuh. Percayalah”

Pelayannya itu menatap majikannya dalam diam. Sebelum akhirnya ia perlahan berdiri, berjalan menghampiri pintu, “selamat malam…tuan muda…” dan meninggalkan Alois sendirian di ruangannya.

Claude masih berdiri didepan pintu, cukup lama. Dari balik kacamatanya, matanya memerah layaknya api kobar. 

Tatapannya benar-benar melambangkan kebencian yang amat sangat.

*

“siapa kau?”

Orang-orang yang bertingkah aneh terlihat olehnya di ujung koridor lantai 15, tepatnya di sebuah ruangan yang jauh dari sana dan terlihat seperti gudang. Setelah ia mendengarkan pembicaraan Sebastian dan Ciel mengenai tugas ini, akhirnya ia tahu siapa yang telah mencelakakan majikannya. Tak lain dan tak bukan adalah guru mereka sendiri. Sebelum sempat mendengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut, Claude sudah pergi lebih dulu—membawa sebuah botol wine di tangannya—dan berjalan mengitari setiap gedung.

Dan ia berhasil menemukan mereka. Koridor yang seharusnya tak ada siapa-siapa pada jam tidur seperti ini,ia melihat 2 guru tengah berbisik-bisik mengenai sesuatu. Seandainya mereka hanyalah guru biasa yang sedang berpatroli, mengawasi apakah muridnya sudah tidur atau belum, Claude pasti sudah meninggalkan mereka. Tapi pembicaraan yang ia dengar bukanlah itu.

“kenapa kau tidakmembereskan anak itu? dia bisa saja mengganggu rencana kita!”

“daripada dibereskan, lebih baik kita menggunakannya sebagai bahan percobaan”

“apa kau lupa sudah berapakali kita gagal? Seharusnya kau memilih orang yang lebih tepat untuk mencoba ‘itu’! mengapa kau tidak melakukannya saja pada ‘anjing penjaga ratu’ itu?”

Anjing penjaga ratu, sebutan yang diberikan untuk Ciel karena pekerjaannya yang memang ditugaskan untuk melindungi ratu. Jika mereka mengetahui julukan itu, dapat dipastikan bahwa mereka bukanlah guru biasa.

Giginya bergemeretak mendengar pembicaraan mereka. Tak salah lagi. Merekalah orangnya!
Ia berjalan dengan langkahmenyeramkan ke arah mereka. Sadar ada orang lain, mereka langsung menoleh—menatapnya dengan pandangan kaget, takut, marah—dan mengeluarkan sebuah pistol hitam dari balik jaket mereka!

DOR. Sebuah peluru ditembakkan.

PRANG. Tapi berhasil ditangkis Claude menggunakan botol wine yang ia pegang sejak tadi—membuatnya pecah dan menumpahkan isi di dalamnya. Tanpa peduli akan keributan yang mungkin akan ia buat, ia bergerak secepat kilat, memukul kedua orang itu menggunakan ujung botol wine yang tajam, tepat di kepala mereka.

Darah mengalir dengan derasnya. Ia membanting botol wine itu ke lantai. BRAK. Membuka pintu gudang—yang mereka berdua tadi jaga—dan mendapati lebih banyak orang mencurigakan disana. Ruangan itu seperti lab kimia.

“jadi disini kalian…” ia menatap orang-orang—yang kaget dengan kedatangannya dan langsung menyiapkan senjata—dengan mata yang benar-benar marah, “karena kalian…majikanku jadi seperti ini…”

“BUNUH DIA!”

Satu perintah dari salah seorang dari mereka, membuat mereka langsung bersiaga dan DOR DOR DOR, menembak satu-satunya orang asing disana. Tapi Claude adalah iblis. Mau berapa kali mereka menembak, tak akan mempan terhadapnya. Mereka mulai ketakutan dengannya karena tak bisa dikalahkan.

Claude melepas sarung tangannya—memperlihatkan lambang kontrak dan kukunya yang tajam, “tak akan kubiarkan…” matanya memerah, “…kalian menyakiti majikanku lagi!!!”

WUUSHH. Tangannya yang tadinya bersih, kini penuh dengan darah. Satu persatu, ia menyerang siapa saja yang ada didepannya. Walau tahu percuma, mereka masih mencoba menembak Claude untuk mempertahankan diri. Hanya dalam 1 menit, kini tinggal satu orang yang tersisa dari sekian banyak orang yang tadinya ada disana. Ia terduduk di sudut,ketakutan, masih dengan pistol mengarah ke arahnya. Claude—yang benar-benar sudah lepas kendali—kembali berlari cepat ke arahnya, dengan tangan yang terangkat ke atas, siap membunuhnya.

GREP. Namun sesuatu menahan tangannya.

Begitu ia menoleh, ia mendapati seseorang yang mengenakan jas buntut hitam.

“lepaskan aku, Sebastian”

Sebastian—dengan wajah dinginya—datang tepat waktu. Saat Claude menguping pembicaraannya dengan Ciel tadi, sebenarnya Sebastian menyadarinya. Ia membiarkan Claude pergi, sementara ia mengikutinya dari jauh.

“hentikan, Claude” ujarnya,“tuan muda Alois tidak memberimu perintah untuk melakukan ini, bukan? Mengapa kau tak melakukan perintah yang memang ia berikan padamu?”

“kembalilah ke kamarmu dan beristirahatlah”

“itu perintah yang ia berikan, bukan? Mengapa kau melanggarnya?”

“kau tahu Claude? Bagaimana perasaannya saat orang yang ia percayai malah mengkhianatinya?” cengkaraman Sebastian semakin erat. Ia menatap lantai, “kau juga pasti begitu bukan? Sakit rasanya mengecewakan orang yang sangat kita percayai…”

Claude hanya dapat diam. Ia bisa merasakan tubuh Sebastian yang gemetar dan cengkaramannya yang kian lama kian menguat itu. Suasana benar-benar sunyi. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam, sambil memikirkan dalam-dalam perkataan lelaki itu barusan.

*

“begitu rupanya” Ciel bergumam sambil berjalan mondar mandir di dalam ruangannya, “aku tak menyangka akan seperti ini”

Hari sudah pagi. Saat ini,Sebastian dan Claude melaporkan kepada Ciel tentang apa yang mereka dapat tadi malam. Orang yang tersisa di dalam lab kemarin membeberkan semuanya kepada mereka.

Mereka sedang melakukan riset percobaan di pulau ini, dengan murid-murid dari sekolah Weston sebagai bahan percobaan mereka. Entah dengan cara seperti apa, mereka berniat mengubah murid menjadi sebuah eksistensi lain yang berbahaya, lebih tepatnya seperti senjata alkimia. Tapi dari sekian banyak murid, percobaan mereka selalu gagal. Murid-murid itu mengamuk tiada henti sebelum akhirnya meninggal. Dan karena ini merupakan pulau di tengah lautan, mudah saja untuk membuang mayat mereka tanpa diketahui siapapun.

“kami sudah memeriksa kebawah laut dan memang ada kotak-kotak berisikan mayat murid dan pemberat dibawah sana” Sebastian menyisir rambutnyanya yang agak basah ke belakang menggunakan tangannya, “apa yang akan kita lakukan selanjutnya, tuan muda?”

“benar-benar tak bisa dipercaya. Berarti murid-murid yang dulunya berada disini sekarang sudah meninggal?” Sebastian mengangguk sekali, “cih. Berarti sejak awal tugas untuk menyelamatkan anak teman ratu sudah gagal”

“yang bisa kita lakukan hanyalah menyelamatkan murid yang sekarang dan pergi dari pulau ini!”

“oh ya. sebelum itu, Claude” Ciel berbalik menatap pelayan temannya itu, “aku bukanlah majikanmu dan aku tak bisa memberi perintah kepadamu. Tapi satu hal”

“tolong jaga Alois”

*

Mayat-mayat orang tak dikenal akhirnya ditemukan di lab tersebut. Guru-guru mencoba untuk menyuruh muridnya tenang dan mereka segera memanggil kapal untuk menjemput mereka dari pulau ini. Karena sebuah tv menyiarkan akan ada badai yang benar-benar dashyat malam ini. Tentu saja itu dapat membuat pulau kecil tak berpenghuni seperti ini tenggelam dalam sekejab. Di balik keributan itu, Alois memandang satu persatu mayat yang ditutupi dengan kain itu, “Claude…apakah kau yang melakukan ini?”

Ia berbalik menatapnya, “mengapa? Aku tidak memberimu perintah untuk melakukannya, bukan?”

Tapi pelayannya itu hanya diam. Ia bahkan tak menatap mata Alois.

“Alois!” suara salah seorang murid terdengar dari kejauhan, “jangan bengong saja! Segera bereskan barang-barangmu! Sebentar lagi kita akan pergi!”

Kapal telah datang dan murid-murid segera masuk ke dalam, membawa barang-barang milik mereka masing-masing.

Ciel masih berada di dalam kamarnya, sibuk membalik-balik kertas tugasnya.

“Ciel! Apa yang kaulakukan?” Alois muncul dari balik pintu, bersama Claude yang memegang kopernya, “kapal sudah datang! Kita harus segera pergi! Nanti kau tertinggal”

“maaf, Alois. Tapi aku tak bisa ikut denganmu” jawaban yang tentunya membuat Alois terkejut, “walau tugas ini sudah selesai, tidak ada kepastian bahwa orang yang berada di baliknya juga sudah tak ada lagi. Aku harus memastikan bahwa orang itu sudah lenyap dan keamanan ratu tetap terjaga. Kau pulanglah lebih dulu”

Matanya membesar sesaat mendengar tutur kata temannya itu, “tak mungkin aku bisa meninggalkanmu sendirian di pulau berbahaya ini!” serunya, “kau sudah dengar kan kalau pulau ini akan tenggelam malam ini juga? Waktumu tidak banyak! Walau kau punya Sebastian di sisimu, tetap saja tak akan cukup!”

“jangan pernah berpikir untuk tinggal bersamaku!” Ciel balas membentak, “kau itu masih sakit! Lihat wajahmu yang memerah itu! kau tak akan kuat bahkan untuk berdiri”

“tapi…Ciel!”

BUK. Sebuah suara yang cukup kuat terdengar oleh mereka. Dan Claude langsung menangkap tubuh Alois yang terjatuh.

“maaf, menggunakan cara yang kasar” Claude—yang sudah tak tahan sejak tadi—akhirnya memukul pingsan Alois—tepat di belakang lehernya, “saya hanya perlu membawa tuan muda Alois ketempat yang aman, bukan?”

“ya. tolong ya, Claude”

Setelah Claude pergi menuju tempat kapal bersinggah, Ciel mulai bergerak, “ayo, Sebastian! Aku yakin dia masih berada di sini!”

yes, my lord

Hujan lebat mulai turun, lebih awal dari perkiraan. Padahal masih banyak murid-murid yang belum naik kapal. Ciel memperhatikan jam di dinding. Baru 20 menit berlalu semenjak pembicaraannya dengan Alois barusan. Ia dan Sebastian mencari seseorang—yang entah siapa—di tiap sudut gedung. Dan sebentar saja bagi Sebastian untuk menemukannya.

Ia berada di lab kimia yang kemarin Claude temukan, sedang memeriksa kotak, mencari sesuatu. Mendengar suara langkah kaki mendekat, ia menoleh, “ternyata itu kau ya..”

“anjing penjaga ratu”

Alisnya sedikit terangkat ketika ia melihat siapa di depannya. lelaki paruh baya dengan rambut peraknya yang disisir ke belakang. Ia kenal dengan lelaki itu, “Earl Burton…”

“anda mengenalnya, tuan muda?”

“ya. salah satu pengusaha furniture terkenal di dunia depan Inggris” ujarnya, “tak kusangka kau menjadi dalang dari semua ini”

“aku juga tak menyangka kalau kau akan datang secepat ini” balasnya.

“apa yang ingin kau lakukan jika rencana itu sudah rampung, hah?” tanya Ciel dengan tatapan mata yang sinis.

“tak akan memberi keuntungan jika aku memberitahumu. Lagipula kau pasti tak akan melepaskanku begitu saja, bukan?” ia berbalik dan menatap ke luar jendela—dimana petir-petir semakin bersahut-sahutan.

“hmf…kalau itu memang maumu.Aku bisa mencari tahu sendiri” ia membuka penutup matanya, menampakkan lingkaran kontrak di dalamnya, “Sebastian”

*

Ia menemukan sebuah buku—yang sepertinya adalah sebuah diary—di dalam kotak yang dicari lelaki itu tadi, “huh. Kalau kau tak ingin orang lain mengetahui rencanamu, sebaiknya kau musnahkan dulu diary bodohmu ini” ia memandang tubuh yang bergelimangan darah di bawah kakinya, “benar-benar tak berguna”

Saat Ciel dan Sebastian tiba di pintu depan gedung, air sudah mencapai lututnya. Hanya tinggal menunggu waktu pulau ini benar-benar tenggelam.

“sebaiknya kita segera pergi, tuan muda” ia mengangkat tubuh majikannya, “kita tak boleh berlama-lama disini”

Ia melompat diantara air dan pohon dengan cepatnya, sementara Ciel hanya bisa memegang baju pelayannya—dan buku diary yang ia temukan tadi—erat-erat agar tak jatuh ke dalam air yang kini sudah tinggi itu. Beberapa saat, Sebastian berhenti.

“tuan muda. Bagaimana caranya kita meninggalkan pulau? Kapalnya sudah pergi”

Di balik derasnya hujan,Ciel mencoba mencari jalan lain bagi mereka untuk keluar. Sekitar 5 meter jauhnya, ia melihat jembatan yang berderik-derik, yang kalau diperkirakan sangat jauh jaraknya untuk dapat mencapai ke ujung jembatan lainnya, “hanya ada 1 jalan. Sebastian, seberangi jembatan itu!”

Tanpa banyak tanya lagi, ia langsung berlari secepatnya melintasi jembatan berbahaya itu. Angin badai begitu deras, membuat suara derik jembatan itu kian membesar.

TAS. Dan bunyi seperti sesuatu yang putus terdengar di telinga Sebastian, “tuan muda! Pegangan yang erat!”

TAS TAS TAS. Bunyi sesuatu yang putus itu semakin lama semakin banyak. Ciel pun mendengarnya. Dan jembatan itu kian lama kian menurun! Karena angin yang begitu kencang, jembatan yang memang sudah reyot itu perlahan rusak satu persatu. Tegang menyelimuti ketika kayu yang dilompati Sebastian patah dan jatuh ke dalam laut. KRAAK. Mata Ciel membesar ketika jembatan di depannya akhirnya benar-benar runtuh dan mereka jatuh ke bawah! Ia tak tahu lagi apa yang terjadi setelah Sebastian melompat dengan amat tinggi dan ia menutup matanya.

*

“tuan muda…tuan muda!”

Perlahan, kedua matanya—yang penutup mata sebelah kanannya telah dilepas oleh Sebastian—terbuka, dan memperlihatkan 2 pelayan berbaju hitam di depannya. ia memperhatikan sekeliling,“dimana…”

“kita berada di rumah terdekat dari sini. Mereka melihat kita di tengah badai dan mempersilahkan untuk beristirahat” Sebastian memberi anggukan terima kasih kepada pemilik rumah.

“Claude…” ia berpaling,menatap pelayan berkacamata itu, “dimana Alois?”

Ia tak menjawab, tapi pandangannya menatap ke beranda luar rumah. Disana, Alois berdiri. Wajahnya agak sedih, tapi akhirnya ia tersenyum.

"kau benar. Tak ada gunanya mencoba untuk menyelesaikan ini sendirian" ia menatap temannya dengan mata sedikit sayu, “ayo kita bekerja sama, Ciel”

Ciel—yang masih terbaring—ikut tersenyum mendengarnya, “ya. pasti”

Di rumah Ciel…

Alois dan Claude menginap dirumah Ciel karena sudah terlalu malam. Di kamar yang gelap dan sunyi, Alois duduk di atas kasurnya, berkata dengan nada serius kepada pelayannya, “kau mengerti, Claude?”

Tatapannya benar-benar menusuk, “rencana ini harus berhasil!” 

                                                                                                                                              Bersambung…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar