Cerita yang akan kuberitahukan kepada
kalian sebenarnya adalah mimpiku yang, sayangnya, tidak selesai. Tapi karena
saya sudah terlanjur penasaran, saya jadikan fanfic ‘gaje’ yang mungkin tidak terlalu berkesan dan
malah mungkin akan menimbulkan beberapa protes dari sekian banyak orang karena
begitu berbeda dengan yang sebenarnya. Setidaknya tolong dibaca dan diberi
saran dengan kemampuan menulis saya.
Cast :
Alois Trancy, Claude Faustus, Sebastian Michaelis, dan CielPhantomhive (entah
mengapa, Alois menjadi sorotannya! Padahal saya pengennyaCiel -_-)
Genre : Action,
Fiendship
Part
: 1 from 2
“tuan muda” seorang pelayan laki-laki
denganjas buntut dan rambutnya yang hitam masuk ke ruang kerja yang luas, “ada
surat dari ratu Victoria”
Dia—anak laki-laki dengan penutup mata
hitam di mata kanannya—mengalihkan pandangannya dari buku berjudul ‘Count Ganas
VIII’, menatap pelayannya, “kemarikan” dan menerima secarik surat dengan cap
kerajaan di atasnya. Ia membaca kertas bertuliskan tangan dengan amat teliti.
“begitu rupanya” gumamnya, “Sebastian, siapkan semua yang kita
perlukan. Sebentar lagi kita pergi”
*
“CIEL!!!”
Wajahnya yang tadinya serius, berubah
menjadi suram. Ia berbalik dan bersiap akan berlari pergi. Sayangnya ia kurang
cepat dan anak laki-laki dengan rambut pirangnya itu berhasil menangkapnya,
“akhirnya bisa datang kemari! Bagaimana kabarmu belakangan ini?”
“aw..aw…Alois! lepaskan! Kau mencekikku!”
Sementara pelayannya menghampiri lelaki
berkacamata yang berdiri tak jauh dari mereka, pelayan anak laki-laki ceria
itu, “tuan muda Alois tidak berubah, ya. Sepertinya kau butuh tangan lebih
untuk mengurusnya”
Ia tertawa kecil, “memang. Tapi karena sikapnya itulah, seisi rumah
tak pernah bosan”
Kedua anak laki-laki yang masih berumur 13 tahun itu adalah anak
bangsawan, Ciel Phantomhive dan Alois Trancy. Mereka sudah berteman lama
sejak kecil.
Setelah beberapa saat, Alois melepaskan
genggamannya, dan Ciel langsung bernapas lega, “kau mau kemana? Kenapa kau memakai pakaian sekolah?”
Ya. seperti yang dikatakan Alois. Ciel
yang berdiri di hadapannya, kini mengenakan baju sekolah rapi—dengan jas, topi
dan dasi merah. Lambang sekolah wetson tersemat di saku baju kirinya, “tugas”
jawab Ciel, singkat, “sebaiknya kau segera pulang. Rumah ini sebentar lagi
kosong. Aku dan Sebastian harus pergi sekarang”
“hah? padahal aku baru saja sampai…” Alois
langsung cemberut, “tugas apa sih? Bagaimana kalau aku ikut juga? Berempat jauh
lebih baik daripada berdua”
“tidak bisa! aku lebih suka bekerja sendiri”
“ow…ayolah. Aku janji aku pasti akan
membantumu!” ujarnya, “lagipula aku kan juga punya iblis, sama sepertimu”
sambil menunjuk ke arah pelayan berkacamata.
Seperti yang ia katakan. Mereka berdua
sudah kenal lama sejak kecil, apalagi setelah kejadian mengerikan yang menimpa
mereka, dimana mereka sampai harus membuat ‘kontrak’ dengan ‘iblis’ dan
mengikat jiwa untuk bertahan hidup. Dan iblis itu adalah pelayan mereka
sendiri, Sebastian Michaelis dan Claude Faustus.
Ciel diam sebentar,“Sebastian, aku harap
kau bisa menyediakan satu seragam lagi” ujarnya dan menatap teman masa kecilnya
yang kini wajahnya berbinar cerah, “sebentar lagi,kita akan masuk sekolah”
*
Sekolah Weston, publicschool yang ternama
dan terkemuka di Inggris sekolah yang dibangun di samping sungai Thames.
Sekolah dengan peraturan yang amat ketat yang menjunjung tinggi tradisi dan
dibesarkan untuk menjadi pria sejati Inggris melalui kehidupan di asrama khusus
laki-laki dengan pendidikan bertaraf tinggi.
“hee…jadi ini sekolah terkemuka itu…”
Alois memandang sekeliling dari balik topinya, “apa yang akan kita lakukan
disini, Ciel?”
Kepada bocah yang manis
Bagaimana hari liburmu? Aku
membuat kue kering untuk Grey dan Fipps sebagai hadiah di hari “Thanksgiving”,
walau hasilnya tak sesuai perkiraanku. Aku bahkan diajarkan oleh Fipps untuk
memanggang kue dengan benar.
Tapi ada satu hal yang
mengganggu pikiranku di hari liburku itu. sebuah gedung dibangun di pulau kecil
yang seharusnya sama sekali tak berpenghuni. Kudengar kabar, itu merupakan
tempat menginap bagi para murid dari sekolah Weston yang mengadakan darmawisata
beberapa hari ke depan. Tapi seminggu berlalu dan tak ada kabar apapun
dari sana. Aku jadi khawatir. Apalagi salah satu muridnya merupakan anak dari
temanku yang sangat kusayangi.
Aku harap anaknya segera
pulang dan orang-orang yang kusayangi kembali bahagia.
Victoria
Ciel—setelah dirinya dan Alois melewati
bermacam proses penerimaan murid baru—sedang membalik-balik berkas pekerjaannya
yang masih belum selesai. Pelayan mereka, tak diperbolehkan masuk ke dalam
lingkungan sekolah. Hanya saja, berhubung mereka adalah iblis,mereka dapat
berkeliaran di dalam sekolah tanpa diketahui.
“tuan muda” Sebastian muncul di
hadapannya, “aku sudah menyelidiki apa yang anda perintahkan”
“jelaskan!” ucapnya.
“memang benar murid-muridpergi ke gedung
itu untuk melakukan darmawisata. Tapi pihak sekolah mengatakan,mereka sudah
kembali ke rumah masing-masing” jelasnya setelah mendengar perintah majikannya.
“bahkan pihak sekolahmenutupi kejadian
ini, hm?” gumam Ciel sambil berjalan menghampiri jendela.
“BAA!!!”
“Huwaa!!!” dan Ciel jatuh terduduk karena
kaget.
Di balik jendela kamar asramanya—yang
mengarah ke taman sekolah yang luas—seorang anak laki-laki dengan rambut
pirangnya—beberapa daun menempel disana—tertawa-tawa melihat kekagetan temannya
itu, “Alois! Kau ini!”
“haha…soalnya aku bosan. Dan tak ada yang
kukenal disini” jawabnya, tertawa riang, “ayo, Ciel! Kita jalan-jalan
sebentar!”
“aku sudah bilang kan, aku sibuk? Aku tak
punya waktu meladenimu” ia berbalik dan bertanya kembali kepada Sebastian
mengenai informasi yang ia dapatkan.
“kalau begitu ada yang bisa kubantu?
Aku tak ingin hanya berdiam diri saja”
tanya Alois sekali lagi, mencoba menarik perhatiannya. Tapi Ciel terlalu focus
pada perkataan Sebastian sehingga ia tak mendengarnya. Membuat Alois memajukan
bibirnya kesal.
“benar juga” akhirnya Ciel sadar, ”maaf
Alois, kali ini aku tak bisa menemanimu. Jadi kalau kau ingin…kemana dia?” saat
ia menoleh ke arah jendela, sudah tak ada siapa-siapa lagi disana. Yang ia
lihat hanyalah rumput hijau yang terhampar luas dan angin sepoi-sepoi yang
berhembus masuk.
Alois—berjalan dengan sedikit
menghentakkan kakinya, kesal karena tak diacuhkan oleh Ciel tadi—berkata dengan
sedikit berseru, “Claude!”
“ya, tuan muda?” entah darimana munculnya,
kini pelayan berkacamatanya sudah berada di sampingnya.
“kapan darmawisata selanjutnya diadakan?”
tanyanya. Ia tak sengaja mendengar pembicaraan Ciel bersama Sebastian mengenai
hal itu barusan. Dan ia yakin hal itu berhubungan dengan tugas Ciel kali ini.
“lusa, jam 10.00 pagi”
“kalau begitu siapkan barang-barangnya”
wajah Alois berubah serius, “akan kubuktikan kalau aku bisa melakukannya!”
Lusa, jam 09.30 pagi…
Di pelabuhan, kapal mewah dengan tulisan
“Wetson School” di tengahnya masih bersanding di tepi. Kumpulan murid-murid
yang tak sabar ingin segera pergi begitu ramai memadati tempat.Ciel—yang tak
ingin terjepit di antara kerumunan itu—berdiri jauh dari mereka,sambil
berbicara dengan Sebastian, “apakah kau melihat Alois?”
Sejak hari itu, Ciel sama sekali tak
bertemu dengan Alois. Bahkan ia tak terlihat di kelas maupun kamarnya.
Murid-murid yang ia tanyakan, semuanya
menggeleng tidak tahu.
“tidak. Aku sudah mencarinya ke seluruh sekolah,
tapi aku sama sekali tak melihatnya” jawabannya membuat Ciel mendesah panjang.
Walau Alois terkadang menyebalkan, tapi tetap saja ia cemas. Alois adalah
temannya.
TOOOTT…bunyi kapal terdengar begitu keras.
Tangga diturunkan dan murid-murid menyerbu masuk ke dalam. Ciel segera berdiri
dari posisi santainya dan mengikuti rombongan sambil memberikan perintah pada
Sebastian, “selama berada di kapal, kita harus mencari informasi mengenai
sekolah ini” tuturnya, “aku yakin Alois tidak apa-apa dan kita tetap harus
melanjutkan tugas kita”
“yes, my lord”
*
Mereka sampai di tempat tujuan. Pulau itu
begitu terpencil. Dan satu-satunya jalan untuk mencapai pulau itu hanyalah
dengan menggunakan kapal. Karena jembatan kayu yang menjadi penghubung juga
sudah reyot sehingga berbahaya untuk dilalui. Di tengah-tengah pulau yang
dipenuhi dengan pepohonan-pepohonan yang rindang, berdirilah gedung mewah yang
amat tinggi—mungkin sekitar 20 lantai. Tapi tentunya itu adalah hal yang aneh
bagi Ciel, “untuk apa mereka membuat gedung di pulau terpencil seperti ini?”
pikirnya, “sangat aneh untuk membawa murid-murid bangsawan ketempat seperti ini
untuk berdarmawisata. Pasti ada udang di balik batu”
Ciel—bersama rombongan yang lain—memasuki
gedung itu. kalau dilihat dari bawah, gedung itu bagaikan menuju langit.
Sementara murid-murid berlarian senang karena gedung yang bagian dalamnya itu
juga sama mewahnya dengan bagian luarnya, Ciel malah pergi memisahkan diri,
berhenti di ujung tangga dan berkata pelan, “Sebastian”
“anda memanggilku?”
Layaknya angin, pelayan yang mengenakan
jas buntut hitam itu muncul begitu saja dan berdiri dengan tegapnyadi sebelah
Ciel, seakan ia sudah berada di sana sejak tadi. Ia berbicara sambil matanya
terus berkeliling ke sekitar, “kau sudah memeriksa apakah anak-anak yang
menghilang itu masih ada disini? apakah ada sesuatu yang mencurigakan?”
“tidak ada” ia menggeleng, membuat alis
Ciel sedikit terangkat, “sudah kuperiksa ke tiap sudut gedung, bahkan ke
seluruh pulau, anak-anak yang menghilang tak ada dimanapun. Bahkan tempat yang
dilarang untuk dimasukipun sudah saya periksa”
“hmm…kalau tidak ada di gedung ini…lalu
dimana?” gumam Ciel.
Sementara majikannya tenggelam dalam
pikirannya sendiri, Sebastian—menyadari seseorang tengah mengawasi mereka—langsung
mengeluarkan 4 pisau dapur yang selalu ia bawa dan WHUUSSH, melemparnya tepat
ke arah bayangan seseorang itu terlihat.
TAP. Tapi lemparannya yang cepat itu
ditangkap dengan mudah olehnya. Ciel—yang akhirnya sadar—cepat menoleh, “siapa
disana?”
“tenang saja, Ciel. Ini aku” seorang anak
laki-laki yang ia kenal muncul di arah pandangannya. Anak laki-laki dengan rambut pirangnya yang
mencolok, membuatnya mudah untuk dikenali.
“Alois! Kemana saja kau dari tadi! Dan
mengapa kau bisa ada disini?” Ciel—yang sudah sangat khawatir dengan keadaan
temannya itu akhirnya berseru, marah, “kau seharusnya tahu seberapa cemasnya
aku saat kau menghilang entah kemana!”
“cemas? Padahal kau tadi terlihat tak
peduli padaku” ia memasang muka cemberut dan tatapannya sedikit sinis.
Agak kaget dengan jawaban temannya itu, ia
berkata, “Alois…kau marah?”
Dan ia memalingkan mukanyadari hadapan
Ciel, memberikan jawaban kepadanya bahwa ia memang marah. Ia jadi sedikit salah
tingkah, “tunggu, Alois. Waktu itu aku tak bermaksud mengabaikanmu. Aku hanya…”
bingung ingin berkata apa lagi, ia jadi terdiam.
Alois mendengus pelan, “ayo, Claude. Kita
pergi!”
Claude—setelah mengembalikan pisau-pisau
milik Sebastian yang tadi berhasil ia tangkap—mengikuti kemana majikannya pergi
tanpa banyak suara.
Anak laki-laki berpenutup mata yang
benar-benar tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menghela napas panjang,
“kenapa jadi seperti ini, sih?”
Alois—setelah berjalan jauh dari
Ciel—akhirnya berhenti dan menoleh ke belakang. Sebenarnya ia tak marah pada
Ciel. Dan sebenarnya ia ingin berbicara dengannya baik-baik tadi. Tapi entah
mengapa, sikap yang ia tunjukkan malah seperti itu. ia jadi merasa bersalah.
“tidak! Aku harus membuktikannya terlebih
dulu!” tekadnya, dalam hati, “aku harus membuktikan kepada Ciel kalau aku juga
bisa membantunya!”
“Claude!” ia berbalik ke arah pelayan
berkacamata, “periksa lantai atas! Aku akan memeriksa lantai bawah”
perintahnya.
Dengan anggukan sekali, Claude menghilang
dari hadapannya. Alois—tak ingin membuang-buang waktu—segera berlari, melewati
murid-murid yang kaget melihatnya, berkeliling ke tiap tempat yang terlintas di
benaknya. Hingga akhirnya ia sampai di depan ruang guru yang terletak di sudut
gedung. Sangat sudut, sehingga terkesan terpencil. Dan tentunya itu membuat
Alois curiga.
Apalagi di balik pintu itu terdengar
suara. Ia menempelkan telinganya, mencoba mendengar apa yang sedang
dibicarakan. Karena pintunya yang tebal, hanya beberapa potong kata saja yang
bisa ia dengar.
“…mereka ada disini?”
“…kalau mereka ada, bagaimana dengan
rencana kita?”
“…aku tidak tahu!”
Diam sebentar, membuat Alois makin
mempertajam pendengarannya karena suara mereka yang mulai mengecil,“…bagaimana
kalau…”
Dan ia mendengar seseorang sedang
berbisik, “sial. kalau sampai
berbisik seperti itu, pasti ada maunya!”
gumam Alois.
Terlalu serius untuk mendengar pembicaraan itu, ia tak
menyadari seseorang berjalan mengendap-endap di belakangnya. Dan…
GREP. Sesuatu membungkam mulutnya. Ia
sangat kaget, dan reaksinya hanya bisa memberontak. Mulutnya tertutup,
membuatnya tak bisa memanggil nama pelayannya itu. Pandangannya perlahan mulai
mengabur. Dan sebelum akhirnya ia pingsan.
*
“hei, Alois! Bangun!”
Begitu ia tersadar, ia sudah berada di
kamarnya. Dan wajah Ciel—yang cemas sekaligus lega—adalah yang pertama ia
lihat, “syukurlah kau baik-baik saja”
Ia mencoba bangun, tapi pelayannya
melarangnya dan dengan agak sedikit tak sabaran, mendorong kembali tubuh
majikannya ke atas tempat tidur, “dimana aku? Apa yang terjadi?” tanya Alois.
“justru itu yang ingin kutanyakan!” Ciel
membalas dengan sedikit membentak, membuat Alois meringkuk takut, “Claude
khawatir karena kau tak memanggilnya walau 1 jam sudah berlalu. Dan ia
menemukanmu pingsan di dekat pintu gudang”
“benar-benar deh! Kau ini ceroboh sekali!
Sudah kubilang untuk jangan sembarangan bergerak sendirian! Berbahaya!”
Wajah Alois menunduk,menyesal. Ciel
mengendalikan napasnya, “maaf. Aku tak bermaksud memarahimu. Aku hanya khawatir
denganmu”
Suasana hening sebentar. Kedua pelayan
mereka pergi dari ruangan untuk memberi mereka waktu bicara. Dan beberapa detik
setelahnya, Alois mulai membuka mulut, “aku…hanya ingin membantumu, Ciel”
Matanya sedikit membesar mendengar
kata-kata itu. ia melanjutkan, “setiap kali aku datang, kau selalu terlihat
sibuk. Sedangkan aku tak pernah bisa melakukan apa-apa untuk membantumu”
gumamnya, “walau kau punya Sebastian, terkadang kau melakukan penyelidikan
sendirian. Dan begitu kau pulang, kau selalu kelelahan”
“aku hanya ingin meringankan bebanmu. Jadi
kita bisa bermain bersama saat kau punya waktu kosong nanti”
Hening untuk yang kedua kalinya. Tak ada yang berbicara. Mereka berdua
tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
*
“37, 02 derajat” Claude memeriksa
termometer.
Hari sudah malam. Alois demam. Entah apa
yang terjadi, suhu tubuhnya tiba-tiba naik. Ia hanya bisa terbaring di atas
kasur, dengan kain basah di dahinya.
“kau demam” Ciel menggaruk-garuk
kepalanya, “sebaiknya aku menunda penyelidikan dulu dan menemanimu”
Tapi Alois menggeleng pelan. Wajahnya
memerah akibat demamnya, “tidak usah, Ciel. Aku tidak apa-apa, kok. Lagipula
ada Claude. Sebaiknya kau lanjutkan saja penyelidikanmu”
“suapaya nanti kita bisa pulang ke rumah
secepatnya”
Ia memandang temannya yang menggigil
kedinginan. Sebenarnya ia tak ingin meninggalkannya begitu saja, tapi apa boleh
buat. Sebaiknya ia segera menyelesaikan tugas ini dan segera kembali ke rumah
agar Alois bisa beristirahat dengan tenang, “Sebastian, ayo kita pergi”
BLAM. Pintu tertutup rapat,dan kini hanya
ada Claude disana. Ia mengganti kain basah di dahi Alois dengan yang baru.
Waktu terasa berjalan sangat lambat di dalam ruangan itu. Tak ada satupun dari
mereka yang berbicara. Hanya detik jam yang terdengar.
“Claude…” dan akhirnya suara lemah Alois memecahkan keheningan, “aku
sudah tidak apa-apa sekarang. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu dan
beristirahat”
“tapi tuan muda. Anda sedang sakit!”
wajahnya begitu cemas. Lebih cemas dibandingkan Ciel tadi, “saya tak mungkin
meninggalkan anda begitu saja!”
“aku tidak apa-apa” sergahnya, ”aku tak
selemah yang kau pikirkan, kok”
“kembalilah ke kamarmu. Aku tahu iblis tak
butuh tidur, tapi setidaknya beristirahatlah” Alois tersenyum, “besok aku pasti
sembuh. Percayalah”
Pelayannya itu menatap majikannya dalam
diam. Sebelum akhirnya ia perlahan berdiri, berjalan menghampiri pintu,
“selamat malam…tuan muda…” dan meninggalkan Alois sendirian di ruangannya.
Claude masih berdiri didepan pintu, cukup
lama. Dari balik kacamatanya, matanya memerah layaknya api kobar.
Tatapannya benar-benar melambangkan
kebencian yang amat sangat.
*
“siapa kau?”
Orang-orang yang bertingkah aneh terlihat
olehnya di ujung koridor lantai 15, tepatnya di sebuah ruangan yang jauh dari
sana dan terlihat seperti gudang. Setelah ia mendengarkan pembicaraan Sebastian
dan Ciel mengenai tugas ini, akhirnya ia tahu siapa yang telah mencelakakan
majikannya. Tak lain dan tak bukan adalah guru mereka sendiri. Sebelum sempat
mendengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut, Claude sudah pergi lebih
dulu—membawa sebuah botol wine di tangannya—dan berjalan mengitari setiap
gedung.
Dan ia berhasil menemukan mereka. Koridor
yang seharusnya tak ada siapa-siapa pada jam tidur seperti ini,ia melihat 2
guru tengah berbisik-bisik mengenai sesuatu. Seandainya mereka hanyalah guru
biasa yang sedang berpatroli, mengawasi apakah muridnya sudah tidur atau belum,
Claude pasti sudah meninggalkan mereka. Tapi pembicaraan yang ia dengar
bukanlah itu.
“kenapa kau tidakmembereskan anak itu? dia
bisa saja mengganggu rencana kita!”
“daripada dibereskan, lebih baik kita
menggunakannya sebagai bahan percobaan”
“apa kau lupa sudah berapakali kita gagal?
Seharusnya kau memilih orang yang lebih tepat untuk mencoba ‘itu’! mengapa kau tidak melakukannya saja
pada ‘anjing penjaga ratu’ itu?”
Anjing penjaga ratu, sebutan yang
diberikan untuk Ciel karena pekerjaannya yang memang ditugaskan untuk
melindungi ratu. Jika mereka mengetahui julukan itu, dapat dipastikan bahwa
mereka bukanlah guru biasa.
Giginya bergemeretak mendengar pembicaraan
mereka. Tak salah lagi. Merekalah orangnya!
Ia berjalan dengan langkahmenyeramkan ke
arah mereka. Sadar ada orang lain, mereka langsung menoleh—menatapnya dengan
pandangan kaget, takut, marah—dan mengeluarkan sebuah pistol hitam dari balik
jaket mereka!
DOR. Sebuah peluru ditembakkan.
PRANG. Tapi berhasil ditangkis Claude
menggunakan botol wine yang ia pegang sejak tadi—membuatnya pecah dan
menumpahkan isi di dalamnya. Tanpa peduli akan keributan yang mungkin akan ia buat,
ia bergerak secepat kilat, memukul kedua orang itu menggunakan ujung botol wine
yang tajam, tepat di kepala mereka.
Darah mengalir dengan derasnya. Ia
membanting botol wine itu ke lantai. BRAK. Membuka pintu gudang—yang mereka
berdua tadi jaga—dan mendapati lebih banyak orang mencurigakan disana. Ruangan
itu seperti lab kimia.
“jadi disini kalian…” ia menatap
orang-orang—yang kaget dengan kedatangannya dan langsung menyiapkan
senjata—dengan mata yang benar-benar marah, “karena kalian…majikanku jadi seperti
ini…”
“BUNUH DIA!”
Satu perintah dari salah seorang dari
mereka, membuat mereka langsung bersiaga dan DOR DOR DOR, menembak satu-satunya
orang asing disana. Tapi Claude adalah iblis. Mau berapa kali mereka menembak,
tak akan mempan terhadapnya. Mereka mulai ketakutan dengannya karena tak bisa
dikalahkan.
Claude melepas sarung
tangannya—memperlihatkan lambang kontrak dan kukunya yang tajam, “tak akan
kubiarkan…” matanya memerah, “…kalian menyakiti majikanku lagi!!!”
WUUSHH. Tangannya yang tadinya bersih,
kini penuh dengan darah. Satu persatu, ia menyerang siapa saja yang ada
didepannya. Walau tahu percuma, mereka masih mencoba menembak Claude untuk
mempertahankan diri. Hanya dalam 1 menit, kini tinggal satu orang yang tersisa
dari sekian banyak orang yang tadinya ada disana. Ia terduduk di
sudut,ketakutan, masih dengan pistol mengarah ke arahnya. Claude—yang
benar-benar sudah lepas kendali—kembali berlari cepat ke arahnya, dengan tangan
yang terangkat ke atas, siap membunuhnya.
GREP. Namun sesuatu menahan tangannya.
Begitu ia menoleh, ia mendapati seseorang
yang mengenakan jas buntut hitam.
“lepaskan aku, Sebastian”
Sebastian—dengan wajah dinginya—datang
tepat waktu. Saat Claude menguping pembicaraannya dengan Ciel tadi, sebenarnya
Sebastian menyadarinya. Ia membiarkan Claude pergi, sementara ia mengikutinya
dari jauh.
“hentikan, Claude” ujarnya,“tuan muda
Alois tidak memberimu perintah untuk melakukan ini, bukan? Mengapa kau tak
melakukan perintah yang memang ia berikan padamu?”
“kembalilah ke kamarmu dan
beristirahatlah”
“itu perintah yang ia berikan, bukan?
Mengapa kau melanggarnya?”
“kau tahu Claude? Bagaimana perasaannya
saat orang yang ia percayai malah mengkhianatinya?” cengkaraman Sebastian
semakin erat. Ia menatap lantai, “kau juga pasti begitu bukan? Sakit rasanya
mengecewakan orang yang sangat kita percayai…”
Claude hanya dapat diam. Ia bisa merasakan
tubuh Sebastian yang gemetar dan cengkaramannya yang kian lama kian menguat
itu. Suasana benar-benar sunyi. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam, sambil
memikirkan dalam-dalam perkataan lelaki itu barusan.
*
“begitu rupanya” Ciel bergumam sambil
berjalan mondar mandir di dalam ruangannya, “aku tak menyangka akan seperti
ini”
Hari sudah pagi. Saat ini,Sebastian dan
Claude melaporkan kepada Ciel tentang apa yang mereka dapat tadi malam. Orang
yang tersisa di dalam lab kemarin membeberkan semuanya kepada mereka.
Mereka sedang melakukan riset percobaan di
pulau ini, dengan murid-murid dari sekolah Weston sebagai bahan percobaan
mereka. Entah dengan cara seperti apa, mereka berniat mengubah murid menjadi
sebuah eksistensi lain yang berbahaya, lebih tepatnya seperti senjata alkimia.
Tapi dari sekian banyak murid, percobaan mereka selalu gagal. Murid-murid itu
mengamuk tiada henti sebelum akhirnya meninggal. Dan karena ini merupakan pulau
di tengah lautan, mudah saja untuk membuang mayat mereka tanpa diketahui
siapapun.
“kami sudah memeriksa kebawah laut dan
memang ada kotak-kotak berisikan mayat murid dan pemberat dibawah sana”
Sebastian menyisir rambutnyanya yang agak basah ke belakang menggunakan
tangannya, “apa yang akan kita lakukan selanjutnya, tuan muda?”
“benar-benar tak bisa dipercaya. Berarti
murid-murid yang dulunya berada disini sekarang sudah meninggal?” Sebastian
mengangguk sekali, “cih. Berarti sejak awal tugas untuk menyelamatkan anak
teman ratu sudah gagal”
“yang bisa kita lakukan hanyalah
menyelamatkan murid yang sekarang dan pergi dari pulau ini!”
“oh ya. sebelum itu, Claude” Ciel berbalik
menatap pelayan temannya itu, “aku bukanlah majikanmu dan aku tak bisa memberi
perintah kepadamu. Tapi satu hal”
“tolong jaga Alois”
*
Mayat-mayat orang tak dikenal akhirnya
ditemukan di lab tersebut. Guru-guru mencoba untuk menyuruh muridnya tenang dan
mereka segera memanggil kapal untuk menjemput mereka dari pulau ini. Karena
sebuah tv menyiarkan akan ada badai yang benar-benar dashyat malam ini. Tentu
saja itu dapat membuat pulau kecil tak berpenghuni seperti ini tenggelam dalam
sekejab. Di balik keributan itu, Alois memandang satu persatu mayat yang
ditutupi dengan kain itu, “Claude…apakah kau yang melakukan ini?”
Ia berbalik menatapnya, “mengapa? Aku tidak memberimu perintah
untuk melakukannya, bukan?”
Tapi pelayannya itu hanya diam. Ia bahkan tak menatap mata Alois.
“Alois!” suara salah seorang murid
terdengar dari kejauhan, “jangan bengong saja! Segera bereskan barang-barangmu!
Sebentar lagi kita akan pergi!”
Kapal telah datang dan murid-murid segera
masuk ke dalam, membawa barang-barang milik mereka masing-masing.
Ciel masih berada di dalam kamarnya, sibuk
membalik-balik kertas tugasnya.
“Ciel! Apa yang kaulakukan?” Alois muncul
dari balik pintu, bersama Claude yang memegang kopernya, “kapal sudah datang! Kita harus segera
pergi! Nanti kau tertinggal”
“maaf, Alois. Tapi aku tak bisa ikut
denganmu” jawaban yang tentunya membuat Alois terkejut, “walau tugas ini sudah
selesai, tidak ada kepastian bahwa orang yang berada di baliknya juga sudah tak
ada lagi. Aku harus memastikan bahwa orang itu sudah lenyap dan keamanan ratu tetap
terjaga. Kau pulanglah lebih dulu”
Matanya membesar sesaat mendengar tutur
kata temannya itu, “tak mungkin aku bisa meninggalkanmu sendirian di pulau
berbahaya ini!” serunya, “kau sudah dengar kan kalau pulau ini akan tenggelam malam ini juga? Waktumu
tidak banyak! Walau kau punya Sebastian di sisimu, tetap saja tak akan cukup!”
“jangan pernah berpikir untuk tinggal
bersamaku!” Ciel balas membentak, “kau itu masih sakit! Lihat wajahmu yang
memerah itu! kau tak akan kuat bahkan untuk berdiri”
“tapi…Ciel!”
BUK. Sebuah suara yang cukup kuat
terdengar oleh mereka. Dan Claude langsung menangkap tubuh Alois yang terjatuh.
“maaf, menggunakan cara yang kasar”
Claude—yang sudah tak tahan sejak tadi—akhirnya memukul pingsan Alois—tepat di
belakang lehernya, “saya hanya perlu membawa tuan muda Alois ketempat yang
aman, bukan?”
“ya. tolong ya, Claude”
Setelah Claude pergi menuju tempat kapal
bersinggah, Ciel mulai bergerak, “ayo, Sebastian! Aku yakin dia masih berada di
sini!”
“yes, my lord”
Hujan lebat mulai turun, lebih awal dari
perkiraan. Padahal masih banyak murid-murid yang belum naik kapal. Ciel
memperhatikan jam di dinding. Baru 20 menit berlalu semenjak pembicaraannya
dengan Alois barusan. Ia dan Sebastian mencari seseorang—yang entah siapa—di
tiap sudut gedung. Dan sebentar saja bagi Sebastian untuk menemukannya.
Ia berada di lab kimia yang kemarin Claude
temukan, sedang memeriksa kotak, mencari sesuatu. Mendengar suara langkah kaki
mendekat, ia menoleh, “ternyata itu kau ya..”
“anjing penjaga ratu”
Alisnya sedikit terangkat ketika ia
melihat siapa di depannya. lelaki paruh baya dengan rambut peraknya yang
disisir ke belakang. Ia kenal dengan lelaki itu, “Earl Burton…”
“anda mengenalnya, tuan muda?”
“ya. salah satu pengusaha furniture terkenal
di dunia depan Inggris” ujarnya, “tak kusangka kau menjadi dalang dari semua
ini”
“aku juga tak menyangka kalau kau akan
datang secepat ini” balasnya.
“apa yang ingin kau lakukan jika rencana
itu sudah rampung, hah?” tanya Ciel dengan tatapan mata yang sinis.
“tak akan memberi keuntungan jika aku
memberitahumu. Lagipula kau pasti tak akan melepaskanku begitu saja, bukan?” ia
berbalik dan menatap ke luar jendela—dimana petir-petir semakin
bersahut-sahutan.
“hmf…kalau itu memang maumu.Aku bisa mencari
tahu sendiri” ia membuka penutup matanya, menampakkan lingkaran kontrak di
dalamnya, “Sebastian”
*
Ia menemukan sebuah buku—yang sepertinya
adalah sebuah diary—di dalam kotak yang dicari lelaki itu tadi, “huh. Kalau kau
tak ingin orang lain mengetahui rencanamu, sebaiknya kau musnahkan dulu diary
bodohmu ini” ia memandang tubuh yang bergelimangan darah di bawah kakinya,
“benar-benar tak berguna”
Saat Ciel dan Sebastian tiba di pintu
depan gedung, air sudah mencapai lututnya. Hanya tinggal menunggu waktu pulau
ini benar-benar tenggelam.
“sebaiknya kita segera pergi, tuan muda”
ia mengangkat tubuh majikannya, “kita tak boleh berlama-lama disini”
Ia melompat diantara air dan pohon dengan
cepatnya, sementara Ciel hanya bisa memegang baju pelayannya—dan buku diary yang ia temukan tadi—erat-erat
agar tak jatuh ke dalam air yang kini sudah tinggi itu. Beberapa saat,
Sebastian berhenti.
“tuan muda. Bagaimana caranya kita
meninggalkan pulau? Kapalnya sudah pergi”
Di balik derasnya hujan,Ciel mencoba mencari
jalan lain bagi mereka untuk keluar. Sekitar 5 meter jauhnya, ia melihat
jembatan yang berderik-derik, yang kalau diperkirakan sangat jauh jaraknya
untuk dapat mencapai ke ujung jembatan lainnya, “hanya ada 1 jalan. Sebastian, seberangi jembatan itu!”
Tanpa banyak tanya lagi, ia langsung
berlari secepatnya melintasi jembatan berbahaya itu. Angin badai begitu deras,
membuat suara derik jembatan itu kian membesar.
TAS. Dan bunyi seperti sesuatu yang putus
terdengar di telinga Sebastian, “tuan muda! Pegangan yang erat!”
TAS TAS TAS. Bunyi sesuatu yang putus itu
semakin lama semakin banyak. Ciel pun mendengarnya. Dan jembatan itu kian lama
kian menurun! Karena angin yang begitu kencang, jembatan yang memang sudah
reyot itu perlahan rusak satu persatu. Tegang menyelimuti ketika kayu yang
dilompati Sebastian patah dan jatuh ke dalam laut. KRAAK. Mata Ciel membesar
ketika jembatan di depannya akhirnya benar-benar runtuh dan mereka jatuh ke
bawah! Ia tak tahu lagi apa yang terjadi setelah Sebastian melompat dengan amat
tinggi dan ia menutup matanya.
*
“tuan muda…tuan muda!”
Perlahan, kedua matanya—yang penutup mata
sebelah kanannya telah dilepas oleh Sebastian—terbuka, dan memperlihatkan 2
pelayan berbaju hitam di depannya. ia memperhatikan sekeliling,“dimana…”
“kita berada di rumah terdekat dari sini.
Mereka melihat kita di tengah badai dan mempersilahkan untuk beristirahat”
Sebastian memberi anggukan terima kasih kepada pemilik rumah.
“Claude…” ia berpaling,menatap pelayan
berkacamata itu, “dimana Alois?”
Ia tak menjawab, tapi pandangannya menatap
ke beranda luar rumah. Disana, Alois berdiri. Wajahnya agak sedih, tapi
akhirnya ia tersenyum.
"kau benar. Tak ada gunanya mencoba
untuk menyelesaikan ini sendirian" ia menatap temannya dengan mata sedikit
sayu, “ayo kita bekerja sama, Ciel”
Ciel—yang masih terbaring—ikut tersenyum
mendengarnya, “ya. pasti”
Di rumah Ciel…
Alois dan Claude menginap dirumah Ciel
karena sudah terlalu malam. Di kamar yang gelap dan sunyi, Alois duduk di atas
kasurnya, berkata dengan nada serius kepada pelayannya, “kau mengerti, Claude?”
Tatapannya benar-benar menusuk, “rencana ini harus
berhasil!”
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar